AMI (Arsitek Muda Indonesia) : Sebuah Refleksi
Oleh : Achmad D. Tardiyana
AMI, Sebuah kelompok arsitek tidak harus memiliki sebuah kutuhan yang mengikat. AMI dibentuk pada tahun 1989 di Jakarta, AMI merupakan kelompok diskusi dan bertukar pikiran dari sekelompok arsitek muda.
AMI tidak diikat suatu landasan normatif yang menjadi landasan bersama, yang menjadi pengikat ialah "Semangat Penjelajahan Desain" yang pengertiannya terbuka. Sejak awal itulah AMI meninggalkan persoalan, kalau mau dikatakan seperti itu mengenai platform yang mempersatukan anggota dan aktivisnya.
Tapi terdapat satu masalah yang dihadapai AMI yaitu,tidak adanya landasan ideologis yang menjadi pengikat gerakannya. AMI muncul dari keberagaman sikap pada arsitektur. Setiap anggota kelompok ini tetap mempertahankan sikap dan pendekatannya masing-masing. AMI lebih banyak bercimpung dengan persoalan desain yang berkaiatan dengan aspek arsitektur.
AMI tidak berkembang menjadi kelompok dengan agenda-agenda nyata seperti, CIAM dan TEAM X yang bergulat dengan humanitas. Dalam perkembangannya AMI tidak menghasilkan resolusi yang memberikan konstribusi kepada penyelesaian masalah lingkungan binaa di Indonesia sesuai manifesto yang ditulis dulu. Apa yang diuraikan pada tulisan pendek ini adalah sebuah refleksi mengenai AMI sebagai sebuah kelompok.
"....bagi kami Arsitek muda, arsitektur adalah wujud dari penjelajahan
desain yang dibekali kepekaan tinggi terhadap situasi-situasi masyarakat
dan lingkungan Indonesia. Dan bagi kami, dasar penjelajahan itu sendiri
adalah keakraban dialog antar arsitek dengan masyarakat sebagai
keterpaduan gagasan dan kenyataan.
Atas dasar inilah Kami melangkah...."
AMI dan Team X
Berkaitan dengan alasan pembentukan maupun sifat keanggotaan dan kegiatannya menarik untuk membandingkan AMI dengan Team X sebagai sebuah kelompok arsitek muda yang mencoba melakukan pembaharuan dalam tubuh COngress Internationaux d'Architecture Moderne (CIAM). Keduanya merupakan kelompok arsitek muda yang berusaha melakukan perubahan pada kondisi tempat mereka berada.
Cikal bakal Team X muncul pada saat dilaksanakannya CIAM ke-9 di Aix-en-Provence, Prancis, pada tahun 1953 dengan tokohnya Aldo van Eyck, Peter Smithson, George Candillis, dan Jaap Bakema. Sementara AMI berkumpul karena sudah merasa betapa tidak memuaskannya perkembangan arsitektur pada akhir 1980-an yang mengalami semacam involusi. Kelompok ini sejak awal lebih diikat oleh sebuah semangat pencarian pengungkapan arsitektur baru yang berusaha mendobrak kemadekan yang terjadi, melalui pertemuan rutin dalam sebuah forum, pameran, dan penerbitan.
Persamaan selanjutnya, berkaitan dengan bentuk kelompoknya yang bersifat cair. Seperti dikatakan Heuvel (2006). Team X represent collection of individual carrer, a web of interaction and exchange between architect. Seperti Team X, AMI pun tidak mengenal keanggotaan resmi, walaupun ada anggota yang dianggap sebagai pencetus awal yang secara konsisten terus ada di dalam kelompok, senhingga dianggap sebagai inner circle. AMI juga tidak mengenal ketua secara resmi, walapun ada yang diangkat sebagai ketua, itupun hanya sebagai juru bicara ke luar saja.
Cara kedua kelompok ini dalam menyelenggarakan pertemuan juga sama, yaitu setiap anggota kelompok mempresentasikan hasil karyanya dan anggota lain memberikan kritik dan saran. Tema X juga aktif dalam memublikasikan pemikiran-prmikiranya melalui berbagai media publikasi. Dengan cara di atas AMI menjadi sebuah kelompok yang dikenal luas, terutama diantara mahasiswa yang haus akan informasi arsitektur.
Salah sau acara yang diadakan oleh
Arsitek Muda Indonesia (AMI)
|
AMI terbentuk dengan tidak adanya landasan normatif yang melandasi gerakannya. berbeda dengan Team X, mereka bergabung dengan berbagai landasan normatif yang lebih kuat. Team X menekankan semakin pentingnya autentitas dn kehidupan sosial kota yang spesifik. Nilai sosial kehidupan sosial yang diabaikan CIAM, merupakan sesuatu yang konkret dan penting bagi Team X, sehingga mereka sangat menekankan konteks sosial dan rekontruksi kota. Bagi Team X, satu nilai yang dipegang bersama antar anggota ialah moralitas. Nilai moralitas ini tidak berkembang pada AMI.
Anak Sulung Globalisasi : Ketika LOOK melebihi ESSENCE
Walaupun dalam perkembangan manifestonya AMI menggunakan kata sosial, kelompok ini tidak dengan jelas menguraikan apa yang dimaksud dengan persoalan sosial yang tengah dihadapi dan bagaimana arsitektur merespon kondisi tersebut. AMI lebih banyak berkutat dengan persoalan arsitektur secara visual. Karya-karyanya lebih bayak mengikuti kecenderungan pengungkapan arsitektur negara maju. Dalam konteks ini presentasi dan diskusi AMI lebih banyak mempersoalkan bentuk dibandingkan konteks.
Kecenderungan AMI semacam ini bisa dijelaskan melalui telaah kondisi ekonomi politik Orde Baru yang telah sukses melakukan proyek depolitisasi kehidupan masyarakat. Masyarakat lebih mementingkan persoaalan pembangunan yang melalui deregulasi ekonomi yang memungkinkan swasta berperan semakin aktif. Perubahan paradigma pembangunan ini tidak lepas dari runtuhnya blok Timur dan berjayanya ekonomi liberal. Globalisasi secara ekonomi dan budaya semakin terasa cepat dampaknya.
Dunia arsitektur akan terimbas dengan kondisi ini. AMI ialah generasi arsitek muda pertama yang terkena dampaknya. Akibat dari kondisi tersebut, generasi arsitek selanjutnyaibarat anak jalanan yang lebih banyak mendapat pengetahuan dari luar dari pada dalam negeri sendiri.
Pada Orde Baru, arsitektur Indonesia didominasi wacana mengenai identitas bangsa Indonesia yang dilandasi semangat kembali pada tradisi, namun bersifat politis. Sehingga pada periode tersebut banyak menjamur penggunaan elemen-elemen arsitektur tradisional pada berbagai bangunan umum secara membabi buta.Seluruh anggota AMI yang beberapa tahun berpraktik pada akhir tahun 1980-an berada dalam kondisi kritis seperti itu. AMI terdorong memberikan alternatif dengan melakukan eksplorasi desain yang mendapat pengaruh-pengaruh dari luar. AMI pun akhirnya terseret oleh gencarnya arus informasi dari luar sebagai sebuah kebenaran yang selayaknya diikuti. Esensi persoalan global-lokal direduksi menjadi persoalan visual. Hal ini menyebabkan ranah pelayanan para anggota AMI cenderung pada golongan menengah perkotaan yang mapan.
Jadi apa yang dianggap pengikat semangat AMI berupa penjelajahan desain itu pada umumnya ditopang oleh sekelompok minoritas golongan menengah perkotaan ini.
Kontribusi AMI
Namun demikian, eksplorasi desain AMI bukanya tanpa hasil yang positif. Berbagai usahanya menumbuhkan kegairahan berarsitektur terutama dikalangan arsitek muda dan mahasiswa, AMI memilki peran yang sangat besar. Dengan militansinya yang tinggi, AMI berhasil menyelenggarakan berbagai kegiatan pameran di berbagai tempatdan kota serta menghaslkan publikasi yang cukup signifikan.
Sumber : Buku "Tegang Bentang Seratus Tahun Perspektif Arsitektur Indonesia"
Facebook.com/Arsitek Muda Indonesia (AMI)
Google.com