“Perhatian! Kepada sekaiian para tamu djika hendak pulang, batas waktu sampai djam 13.30, seliwatnja djam tsb. di atas dianggap 1 malam. II. Kami tidak menjediakan kamar untuk tamu jang bajar bulanan…”
Tata tertib berejaan Soewandi itu tertempel pada pigura usang di depan ioket pembayaran Hotel Muslimin, Jaian Bangunharjo kawasan Kauman, Semarang. Bukan lantaran barang antik jika peraturan yang dibuat pada tahun 1960-an itu masih dipajang. Benda tersebut senyatanya masih diberlakukan.
Memasuki hotel, atau lebih tepat disebut Losmen Muslimin, kita seperti kembali ke masa silam. Bentuk bangunan, interior, dan hiasan dinding yang terdapat di dalamnya membiaskan atmosfer itu.
Tengok saja, ubin bermotif, gantungan baju, mebeler, kamar mandi berderet, atau foto seorang artis perempuan era 1960-an bersanggul dan kain kebaya yang tergantung di dinding salah satu kamar, semuanya asli dari tempo dulu.
Namun keaslian itu tidak sengaja dipertahankan. Pemilik yang sekaligus menjadi pengelola, tak punya dana untuk merenovasi.
“Sebenarnya keinginan melakukan renovasi itu ada, tapi karena beium ada dana, terpaksa tetap kami biarkan seperti ini,” ujar Faisal, generasi ketiga pengelola Hotel Muslimin.
Dengan human rata-rata lima kamar per hari, penginapan yang mempunyai 17 kamar itu kembang-kempis membiayai diri sendiri. Pemasukan yang diperoleh paling hanya berselisih sedikit dengan biaya operasional sehari-hari. Ya, Hotel Muslimin adalah satu di antara belasan penginapan di kawasan Kauman Semarang yang berikhtiar untuk bertahan.
Seperti Hotel Muslimin, penginapan-penginapan lain bernasib serupa. Hotel Semarang di Jalan Alon-alon Selatan, misalnya, beberapa bagian bangunannya teriihat lapuk. Penginapan yang didirikan H. Khaeron pada 1949 itu hanya mempunyai tingkat hunian rata-rata 30%. Kondisi tersebut masih dipersulit oleh pajak yang mencapai 10% dari pendapatan kotor.
Bahkan, agar bisa bertahan, Faroukh, putra bungsu H. Khaeron yang mengelola Hotel Semarang, pernah melakukan usaha alternatif, menjual nasi bungkus kepada para pemilik warung di sekitar Pasar Johar.
Menurut sesepuh Kauman H. Drs. Sakuri A.M., penginapan di kawasan Kauman telah ada sejak masa Hindia Belanda. Itu bermula dari respons warga Kauman terhadap kebutuhan para pedagang dari luar daerah yang berdagang di Pasar Johar. Mereka kemudian membuat bangunan alakadarnya yang disebut “pondok boro”.
Awalnya hanya berupa kamar kosong yang berlantai pelester, tanpa tempat tidur. Lambat laun, para pemilik melengkapi fasilitas pondok boronya dengan tempat tidur dan lemari pakaian. Pondok boro milik H. Ayub di Kampung Butulan adalah salah satu cikal bakal losmen di Kauman.
Selain melayani para pedagang, losmen-losmen tersebut digunakan para pengantar jamaah haji yang berangkat melalui Wisma PHI di Jaian Wahid Hasyim (sekarang Hotel Semesta). Saat itu, jamaah haji masih menggunakan kapal laut. Untuk menunggu masa pemberangkatan, para pengantarnya menginap di losmen.
Belasan losmen yang pernah berdiri di kawasan tersebut antara lain Semarang, Sahara, Tentrem, Muslimin, Harum, Marem, Tenang, Mayar, Bhakti, Dagang, Purnama, Damai, Bahagia, dan Bojong. Istilah hotel digunakan pada masa Orde Baru untuk mengganti penyebutan losmen. Semua penginapan itu diklasifikasikan sebagai hotel kelas melati.
Hampir semua losmen di Kauman dikelola secara turun-temurun dengan manajemen keluarga. Namun seiring dengan surutnya bisnis penginapan di Kauman, beberapa penginapan terpaksa tutup atau dijual ke pihak lain.
portalsemarang.com
0 komentar:
Posting Komentar